Setiap
30 Maret dunia perfilman Indonesia bersuka cita merayakan Hari Film Nasional.
Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena tanggal 30
Maret 1950 merupakan hari pertama pengambilan gambar film “Darah dan Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang
disutradarai oleh Usmar Ismail.
Ada
alasannya, kenapa penetapan hari itu dipilih saat film "Darah dan
Doa". Itu karena "Darah dan Doa" adalah film lokal pertama yang
mencirikan Indonesia. Yah, bisa dibilang Indonesia banget, deh!
Selain itu, film "Darah dan Doa" ini merupakan film pertama yang
benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga dilahirkan dari
perusahaan film milik orang Indonesia asli. Perusahaan ini bernama Perfini
(Perusahaan Film Nasional Indonesia) dan
Usmar Ismail adalah pendirinya.
Meskipun Film Nasional telah disepakati lahir
pada tanggal 30 Maret 1950, namun perfilman
Indonesia sebenarnya bukan baru dimulai tahun 1950. Di bawah penjajahan
Belanda, produksi film di tanah air sudah mulai jalan. Era awal perfilman
Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada
tanggal 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama “Gambar
Idoep” yang menayangkan sebuah film dokumenter tentang perjalanan Ratu dan Raja
Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga
karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis
dikurangi hingga 75% untuk menarik minat penonton.
Kemudian,
film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari
Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita
impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat.
Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Sedangkan film lokal pertama
kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak
terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain,
film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Film
cerita lokal pertama diproduksi oleh NV Java Film Company yang berjudul
Loetoeng Kasaroeng. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi
oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul
perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat
Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan
Berlumur Darah.
Industri
film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini
diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di
Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931)
sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Sehingga jumlah bioskop
meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936
mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk
lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival
Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya
pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film
Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini.
Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di
Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang
menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang
setelah kemerdekaan.
Di
tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi
721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula
penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, horor dan musik mendominasi
produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat
sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama
yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat
beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai
rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah
film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya sebanyak 699.282, masih sangat
sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Di
akhir tahun 80-an, kondisi film nasional merosot karena kehadiran
stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema
elektronik serta telenovela. Menginjak tahun ’90-an, film Indonesia semakin
merosot dan akhirnya masyarakat lebih menyukai film buatan luar negeri
dibanding film lokal.
Meski
dalam kondisi sekarat, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun
di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan
di festival film internasional. Pertengahan 90-an, film-film nasional yang
tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron
di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar
lebar beralih ke layar kaca.
Kini,
film Indonesia telah mulai berderak kembali. Kebangkitan film Indonesia dimulai
pada tahun 2000, beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang
sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan
Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film
lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat
Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema
yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil
tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Banyaknya
genre film Indonesia terbaru semakin memudahkan penonton untuk memilih mana
film yang akan ditonton. Perkembangan film Indonesia terbaru juga makin
bertambah kuantitasnya. Seharusnya, kini para sineas tak hanya memikirkan
kuantitas saja, namun juga kualitas. Sehingga dengan membuat film-film yang
mendidik tentu akan menjadi nilai tambah bagi para penonton mengingat sebagian besar
diantara kita meniru apa yang sering ditonton.